Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tri Artining Putri menceritakan pengalamannya mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK) yang disebut menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) atau PNS. Putri mengatakan pertanyaan yang diajukan tim asesor saat TWK tak ada hubungannya dengan tugas dan kinerjanya sebagai pegawai di lembaga antirasuah. Bahkan, hanya 1 dari 200 pertanyaan pilihan ganda yang menyangkut anti korupsi.
Sisanya, pertanyaan mengenai hal yang bersifat pribadi dan isu yang tidak ada hubungannya dengan pemberantasan korupsi. Putri menuturkan soal tersebut berkop TNI AD. Namun, dia tidak mengetahui secara pasti ihwal siapa pembuat soal tersebut. "Karena soalnya itu soal sikap kami terhadap teman teman LGBT? Lalu apakah kami percaya dengan hal ghaib? Apakah semua orang Jepang itu kejam? Tidak ada soal antikorupsi sama sekali bahkan. Cuma satu itu juga aku lupa dari 200 soal itu soal anti korupsinya cuma 1 pertanyaan," kata Putri dalam diskusi daring Gusdurian, Sabtu (29/5/2021).
Selain pertanyaan pilihan ganda, para pegawai KPK juga diajukan tes essay yang berkop surat BKN. Di dalamnya berisi pertanyaan seputar tanggapan perihal kasus Front Pembela Islam (FPI) hingga Papua. "Ada tes essai yang kopnya BKN. Makanya kami heran kalau BKN bilang tidak tahu menahu terkait soal. Ditanya tuh sikap kami kepada FPI, HTI, DITII, Papua, kebijakan pemerintah yang tidak kami setujui, LGBT dan narkoba," ungkap dia.
Lebih lanjut Putri menyampaikan ada 2 pertanyaan yang menyangkut pribadi dalam tes tulis TWK tersebut. "Sama ada 2 pertanyaan yang menyangkut pribadi itu adalah siapa orang yang berpengaruh pada hidup Anda, disuruh sebutin 3 orang sama apa prestasi yang menurut anda paling bagus ketika kami bekerja di KPK," ujarnya. Putri juga menceritakan, saat tes wawancara para pegawai KPK ditodong pertanyaan terbuka setuju atau tidak dengan sebuah isu.
Pertanyaan ini justru dinilai melecehkan gender. Bahkan seorang pegawai KPK yang belum menikah di umur 30 tahun sempat ditanyakan untuk menjadi istri kedua saat sesi wawancara tersebut. "Saya ada menerima beberapa pelaporan itu betul mengalami pelecehan seperti kenapa di atas umur 30 tahun belum menikah? Apakah masih punya hasrat? Apakah jangan jangan anda LGBT? Lalu di ujungnya ditanya kalau nikah sama saya saja mau nggak jadi istri kedua?" kata Putri.
Usai berceloteh ucapan tersebut, kata Putri, pewawancara TWK seolah tak merasa bersalah. Kepada temannya itu, pelaku mengaku hanya bercanda. "Dengan entengnya pewawancara yang bapak bapak ini di ujungnya mengatakan 'mbak yang tadi jangan diambil hati ya. Saya kan cuma bercanda'. Padahal yang dilakukan adalah wawancara formal. Bapak bapak ini mewakili lembaga dan teman saya mewakili lembaga yang sedang tes wawasan kebangsaan," ungkap dia.
Tak hanya pegawai perempuan, kata Putri, rekannya yang pria juga mendapatkan pelecehan. Pegawai KPK ditanya seputar free sex hingga hal hal yang seputar hal yang berbau sexualitas dan pornografi. "Yang laki laki ada yang mendapatkan pertanyaan kenapa belum nikah? Apakah LGBT atau tidak? Apakah pernah nonton film porno dan apakah sikap anda terhadap freesex? Dia jawab itu bukan urusan saya, lalu ditanya lagi bagaimana kalau threesome gimana? lalu orgy bagaimana?," jelasnya.
Menurut Putri, rekannya tersebut sampai sempat menanyakan istilah istilah yang disebutkan pewawancara. Sebaliknya, para korban juga mengalami doxing usai mendapat pertanyaan tersebut. "Dia saat itu sampai bertanya orgy apaan? lalu dia (pewawancara) jawab orgy itu dilakukan pesta sex lebih dari 4 orang. Lalu dia jawab ya udah kalau dia nyaman begitu ya sudah, itu kan bukan urusan saya. Lalu sekarang dia di doxing dia adalah pendukung freesex," ujarnya.
Terkait TWK sendiri, Putri mengatakan ia dan rekan rekannya sebenarnya pernah menjalani TWK sebelum masuk dan bekerja di lembaga anti rasuah. Tes itu dilakukan saat ia mengikuti pendidikan bela negara di bawah bimbingan Kopassus selama 48 hari. Putri mengaku telah bergabung dengan KPK sejak 2017 lalu. Proses yang ditempuhnya tidak mudah lantaran harus melalui jalur seleksi 'Indonesia Memanggil 11'.
"Aku bekerja di KPK sejak tahun 2017, jadi totalnya 4 tahun. Saya ikut dan saya masuk ke KPK melalui Indonesia Memanggil 11. Jadi Indonesia Memanggil itu kan rekrutmennya KPK dan aku angkatan ke 11," kata Putri. Ia menuturkan proses masuk KPK tersebut melalui 7 tahapan tes. Dimulai dari psikotes hingga pendidikan bela negara berupa tes wawasan kebangsaan selama 48 hari oleh Kopassus di Pusdik Kopassus.
"Jadi kami selama 48 hari itu dikarantinanya kami tidak memegang HP, tidak bisa mengakses dunia luar. Jadi kegiatannya hanya menerima materi soal anti korupsi dan bela negara. Ada wawasan kebangsaan juga di sana yang disampaikan pelatih pelatih yang merupakan Kopassus atau baret merah," ungkap dia. Putri menyebut TWK yang digelar oleh BKN berbeda dengan pendidikan bela negara yang diterimanya saat dilatih oleh Kopassus. Putri menuturkan, wawasan kebangsaan yang diterimanya dari pelatih Kopassus berupa penerapan Pancasila, UUD 1945 hingga sejarah Indonesia.
Hal tersebut jauh berbeda dibandingkan pertanyaan yang diajukan saat TWK yang digelar oleh BKN yang berupa indeks moderasi bernegara. "Indeks moderasi bernegara yang aku yakin bahwa itu sikap. Sikap itu tidak ada yang benar dong yang salah dan yang benar. Misal, ada satu pertanyaan yang harus kami sikapi di tes itu sudah beredar di media salah satunya adalah semua orang China sama saja. Itu kami harus menentukan setuju atau tidak setuju terkait pernyataan itu," ungkap Putri. "Tetapi tidak diberikan konteks. Sama sajanya seperti apa. Kalau misal kesetaraan dalam hukum ya sama dong. Kita setuju kalau itu. Kalau sama sajanya secara pribadi itu kan harus dikenal dulu dong satu satu," ujar dia.
Sementara itu dalam diskusi lain, Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian, mendesak pihak terkait yakni pimpinan KPK, Kepala BKN hingga Presiden Joko Widodo mempertahankan seluruh pegawai KPK yang tidak lulus asesmen TWK agar tetap bekerja di lembaga antirasuah itu. Ia menilai polemik tidak lulusnya 75 pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan serta Harun Al Rasyid dalam TWK akan berdampak pada menurunnya kinerja pemberantasan korupsi di Tanah Air. "Tidak lulusnya para pegawai KPK dalam TWK menyebabkan menurunnya performa KPK yang berakibat pada penurunan Indeks Persepsi Korupsi," jelas Andre dalam dalam diskusi virtual Forum Diskusi Salemba (FDS) dengan tema 'Menimbang Tes Wawasan Kebangsaan KPK: Prospek Penegakan Anti Korupsi ke Depan?', Sabtu (29/5/2021).
Kata Andre, menurunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia merupakan dampak langsung dari penurunan performa dari tubuh KPK. Hal tersebut menurutnya sangat relevan dengan isu tidak lolosnya pegawai KPK dalam TWK. Untuk itu, pihaknya dalam hal ini ILUNI UI berkomitmen untuk mengawal isu ini. "ILUNI UI melalui Policy Center akan mencoba memberikan solusi berupa policy brief sebagai masukan dalam menguatkan lembaga antikorupsi di Indonesia," imbuhnya.
Dalam acara yang sama, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB UI) sekaligus Aktivis Anti Korupsi Faisal Basri menyoroti sengkarut 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK merupakan upaya pelemahan KPK yang disusun secara sistematis. Menurut Faisal, dalam keputusan pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK ada peran besar yang mengendalikan putusan tersebut. "Ada orang orang tidak ingin KPK independen. Jangan lupa korupsi adalah musuh bersama. Jangan patah arang, kita membayar pajak, dan kita tidak ingin uang kita masuk ke kantong para koruptor koruptor itu," ujarnya.
Faisal mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk terus menggenjot kajian kajian akademis anti korupsi. Ia khawatir jika tidak dilakukan sedini mungkin maka yang akan terjadi di generasi mendatang keterpurukan Indeks Persepsi Korupsi dan Demokrasi Indonesia akan semakin menjadi. "Penurunan Indeks Persepsi Korupsi dan Demokrasi di Indonesia menyebabkan utang negara naik, pengangguran meningkat, kemiskinan merajalela, dan kita bisa mengalami krisis ekonomi jika dibiarkan berlarut larut," ujar Faisal.